“Kesadaran masyarakat terhadap penyakit autoimun sekarang sudah baik sekali dibandingkan 10 tahun yang lalu, cuma ini di perkotaan. Berkat media nih, pasien-pasien jadi bisa lho datang sendiri ke saya bertanya dia kena MS atau tidak, karena dia baca gejala-gejalanya,” kata Rocksy saat ditemui usai mengisi seminar tentang multiple sclerosis (MS) di Jakarta, Selasa.
“Kalau di perifer mungkin, masih banyak juga yang enggak mengerti apa itu autoimun, apa itu MS,” kata Rocksy.
Baca juga: Mengenal penyakit “sklerosis multipel” dan cara menanganinya
Baca juga: Hindari konsumsi suplemen penguat imun dalam pengobatan lupus
Masyarakat perkotaan juga memiliki perhatian lebih terhadap isu-isu kesehatan terkait dengan polusi udara. Karena itu, dianggap bertanggung jawab terhadap kerusakan imun maupun pembuluh darah. Sehingga mereka semakin aktif mencari tahu informasi mengenai dampak polusi udara tersebut.
Rocksy menambahkan, teknologi untuk mendiagnosis penyakit autoimun juga lebih canggih sekarang, sejak alat magnetic resonance imaging (MRI) mulai digunakan di Indonesia tahun 1990 sebagai upaya meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
“Dulu kita enggak punya MRI, kan? Jadi banyak MS yang tidak terdiagnosis. Sekarang sudah ada MRI, begitu difoto ada putih-putih (inflamasi), kita bisa tahu itu MS,” kata Rocksy.
Serangan sistem imun yang tidak normal pada sistem saraf pusat merusak mielin, yaitu bungkus dari saraf pusat tersebut. Akibatnya, komunikasi sistem saraf menjadi terganggu dan memunculkan gejala-gejala sklerosis multipel (dalam Inggris: multiple sclerosis).
MS bisa terdiagnosis pada siapa saja, walaupun potensi lebih tinggi terserang MS pada kelompok orang-orang berusia muda (rentang usia antara 20 sampai 50 tahun).
Selain itu, penyandang MS perempuan cenderung lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Rasio perbandingannya secara global, tiga perempuan berbanding satu laki-laki (3:1), ujarnya.
Sejak dahulu, negara tropis seperti Indonesia cenderung lebih sedikit populasi penderita MS-nya dibandingkan negara-negara subtropis. Namun kecanggihan teknologi untuk mendiagnosis penyakit tersebut membuat Indonesia pun mulai diketahui memiliki penyintas MS.
Jessy fnu, pengarang buku “Jessy and The 4G’s” adalah salah satu penyintas MS di Indonesia yang terdeteksi.
Di tempat praktiknya (Rumah Sakit Siloam Lippo Village), kata Rocksy, terdapat 17 pasien dengan MS dengan satu di antaranya laki-laki.
MS lebih sering terdiagnosis pada perempuan berusia muda antara 20 sampai 50 tahun. Jika mempunyai gejala-gejala sebagai berikut, pertama, tiba-tiba mata menjadi kabur sebelah, sehingga penglihatan terganggu.
“Jika ada gejala-gejala seperti itu, segera ke dokter saraf,” kata Rocksy.
Bermacam-macam gejala sklerosis multipel (MS) membuat orang awam kadang menyebutnya sebagai penyakit dengan seribu wajah.
Tapi berbeda dengan lupus, kata Rocksy. Pada penyakit MS, antibodi menyerang hampir semua fungsi sistem saraf pusat saja. Sementara pada lupus, antibodi menyerang seluruh organ tubuh lainnya.
Pengobatan sklerosis multipel, dikenal sebagai disease modifying treatment atau obat-obatan yang dipakai untuk mencegah terjadi relapse atau gejala kambuh dan menekan progresivitas dari penyakit MS.
“Obatnya macam-macam, mungkin ada lebih dari 20 macam obat yang kami sebut disease modifying treatment. Tapi di Indonesia, kita hanya punya dua, ada yang bentuk suntikan dan ada yang bentuknya tablet,” kata Rocksy.
Obat suntik, disuntikkan tiga kali seminggu. Sedangkan tablet, diminum hanya pada bulan pertama sebanyak 5 hari dan bulan kedua sebanyak lima hari. Setelah itu dihentikan, sampai tahun berikutnya baru diminum lagi bulan pertama lima hari dan bulan kedua lima hari. Setelah itu pengobatan dihentikan, seterusnya tidak perlu memakan obat lagi.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Zita Meirina
Copyright © ZephyrSec 2024