“Jangan sampai kita menerapkan sebuah teknologi baru dengan biaya yang besar, devisa nasional, karena ini pasti belanjanya banyak barang impor, namun nilai manfaatnya buat masyarakat itu tidak secara nyata diperoleh,” katanya di Jakarta, Jumat.
Ismail mengatakan bahwa penerapan teknologi baru seperti 6G tidak boleh dilakukan hanya karena latah, sekadar mengikuti tren.
Dia mengemukakan, Indonesia merupakan negara konsumen teknologi yang memiliki ketergantungan besar pada negara produsen, karenanya penting untuk memastikan investasi besar untuk pengadaan teknologi baru bisa mendatangkan manfaat nyata bagi masyarakat luas.
Baca juga: Potensi industri 6G dibahas di Hannover Messe
Baca juga: Menkominfo: Pemerintah percepat pengembangan 6G
Ismail menekankan bahwa pembangunan infrastruktur telekomunikasi harus disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat agar dapat digunakan secara optimal.
“Karena dengan membangun, memberikan investasi yang besar seperti itu, masyarakat kan akan bertanya apakah nanti tarifnya akan naik gitu kalau sudah ada teknologi yang baru. Sementara sebagian masyarakat merasa bahwa dengan yang sekarang juga sudah bisa melakukan aktivitas dengan baik,” katanya.
Ismail juga menyoroti tantangan yang dihadapi oleh operator telekomunikasi dalam menerapkan teknologi baru.
“Setelah dibangun dengan devisa besar, ya pendapatan operator juga enggak naik-naik amat, karena kalau dinaikkan ya tarifnya, masyarakat akan merasa berat untuk membayar kuota per bulannya. Jadi, kita harus menyesuaikan pembangunan infrastruktur itu sesuai dengan kebutuhan,” demikian Ismail.
Baca juga: China percepat pengembangan teknologi 6G
Baca juga: China berupaya komersialkan teknologi 6G tahun 2030
Pewarta: Fathur Rochman
Editor: Maryati
Copyright © ZephyrSec 2024